Translate

Kamis, 06 April 2017

Cerpen



Derikan Pelik Sang Kromong
  


Bagaimana rasanya jika hidup di lingkungan yang serba berkecukupan bahkan tak tahu lagi mau diapakan harta yang berlebih itu? Temanku misalnya orang kaya raya bernama Denal. Punya rumah mewah besar, mobil lamborghini, kalau mau sesuatu apapun itu tinggal minta. Apapun dikabulkan orang tuanya laksana jin yang mengabulkan semua keinginan. Tapi kulihat Denal hanya menikmatinya, tidak memanfaatkan semua yang tidak dimiliki orang lain. Sekadar bersenang-senang atau apalah yang ia lakukan. Apa jadinya jika semua kemungkinan buruk menimpanya? Entahlah, tapi pasti ia akan menderita.
   Hidupku biasa saja, tidak kaya dan tidak pula miskin. Namun terkadang kami juga kesulitan ekonomi. Bisa dibilang kalau tingkat satu adalah miskin yang tak punya apapun, maka aku tergolong tingkat lima, dan jika sudah tingkat sepuluh adalah golongan menengah. Meskipun begitu aku tetap bahagia walau orang lain sebayaku lebih beruntung. Tersenyum dalam suramnya hidup.
   Seminggu lalu di sekolahku ramai orang tua siswa berdatangan untuk uang satu juta rupiah. Pemberian gratis program pemimpin negeri ini bagi mereka yang beruntung bisa terdaftar sebagai penerima Bantuan Siswa ‘Miskin’. Seakan ingin menunjukkan bahwa mereka benar-benar miskin, hanya demi serat-serat kertas yang diperebutkan. Pertanyaanku sejak itu adalah, apa mereka benar-benar miskin?  Salah satu penerimanya temanku dan aku bertanya soal itu padanya. Hidupnya biasa saja, sama sepertiku, malah ia bisa dikatakan tingkat tujuh karena punya motor dan gawai sementara aku tidak. Dalam hati aku berteriak, tak menerima semua ketidakadilan ini. Ini bukan soal uang, tapi soal bagaimana keadilan ditegakkan. Tak ada yang bisa kulakukan, aku hanya orang kecil yang tak penting.
   “Mau apa?” tanya seorang ibu berkerudung ketika aku masuk ruang Tata Usaha. Ibu itu berwajah penuh bedak, tak natural seakan ingin menunjukan ekonominya bahwa ia punya kosmetik mahal.
   “Bayar untuk prakerin.” kataku pendek.
   “Berapa?” tanyanya lagi.
   “Tiga ratus ribu.” jawabku, menyodorkan sejumlah uang pada ibu itu yang langsung menulis namaku di buku besarnya.
   “Belum yang tiga ratus ribu?” tanya ibu itu, memang untuk bayar prakerin dibutuhkan uang enam ratus ribu rupiah.
   Aku menggeleng. “Belum.”
   “Kenapa? Sudah mepet begini kamu juga baru bayar sekarang. Sebentar lagi libur, mau kapan bayar sisanya?” Ibu itu sedikit menaikkan nada bicaranya dan mata beralis tebal itu menunjukkan wajah judesnya.
   “Nanti bu, belum ada uangnya.” kataku.
   “Cepat bayar ya? Paling lambat dua minggu lagi, secepatnya!” katanya.
   “Insyaallah.” ujarku pelan.
   “Jangan insyaallah, pokoknya harus bayar!” Ibu itu kembali menunjukkan wajah judesnya dan aku tak suka. Ibuku sering bilang bahwa wanita seperti itu hanya egois dan merengek dalam hidup, seringkali bahkan licik.
   “Jika bukan kepada Allah, lalu pada siapa lagi yang menghendaki, sudah ya bu, saya pamit.” Aku melangkah keluar tapi sebelum itu, ibu berkerudung biru tua ini berdiri dan mengucap keras.
   “Hei!” Ibu yang berusia sekitar dua puluh tujuh tahunan itu menghampiriku, wajahnya masih menunjukkan perilaku buruk. “Apa maksudmu bicara begitu?”
   “Maaf, memangnya ada yang salah?” Aku berbalik bertanya, merasa heran. Sebagai siswa, aku tak ingin membuat masalah dengan petugas TU ini.
   “ Ya. Caramu berbicara, aku tak suka itu. Oh sudahlah, aku tahu sifatmu. Orangtuamu pasti sudah memberimu uang yang banyak, hanya saja kau tak jujur. Dasar anak zaman sekarang!”
    Apa? Ini salah, dan seperti wajahnya, ucapan itu sungguh tak sopan dan tak pantas. Aku memang orang biasa, kadang merasa terpinggirkan. Orang lain selalu memamerkan telepon pintar canggih, motor besar, atau barang  bagus lainnya. Untung aku bukan tipe orang yang ingin meminta apapun dan harus dipenuhi. Tidak seperti siswi yang berpenampilan tak sopan yang selalu menganggap dirinya terhormat dan harus dijunjung bagai putri raja. Ibu ini setingkat guru, berkata seperti itu membuatku sedih, padahal itu hasil menjual kambing kecil yang harganya tak seberapa dan mesti dibagi untuk keperluan lainnya.
   “Baiklah itu urusanmu, yang penting aku ingin kau cepat bayar tagihan ini, paham?”
  Aku keluar dan berjalan tergesa-gesa tak ingin mengurusi ucapan ibu itu. Secepatnya kembali menuju kelas bersama teman-teman yang masih istirahat.
   “Kau tadi sudah bayar prakerin?” tanya Dirna temanku.
   “Ya, baru setengahnya.” Jawabku.
   “Kapan terakhirnya ya, aku belum bayar sepeser pun,” teman lain, Hendy menghampiri kami.
   “Katanya dua minggu lagi.” Ujarku.
   “Oh, bagaimana aku membayarnya!” kata Hendy dengan ucapan tak keruan.
   “Sabar Hendy, sabar saja. Aku juga sama sepertimu,” Aku tahu keluarga Hendy tidak mampu lebih tak mampu dariku, bisa dikatakan tingkat empat, dan tak mendapat BSM sama sepertiku. “Kalau saja kau dapat bantuan itu, mungkin semua biaya-biaya bisa lepas dari ingatanmu.”
   “Oh sudahlah, jangan memikirkan uang itu, jangan membicarakannya. Itu takkan mengubah apapun. Lagipula kau benar soal satu hal, aku harus sabar. Terima kasih.” Katanya sambil tersenyum.
   “Dirna, bagaimana rasanya jika seseorang menuduh kita salah padahal kita kebalikan dari itu? Maksudku ini menyakitkan bukan?” aku minta pendapat darinya, tapi Dirna maupun Hendy merasa aneh.
   “Kenapa bicara soal itu, kau lagi galau ya? Mungkin rasanya agak pahit begitu.” Celetuk Dirna, tertawa dan sedikit mengusir masalah ibu itu bersama mereka.
***
   Pulang sekolah seperti biasanya aku jalan kaki. Langit menunjukan tanda yang paling kelam, terasa hembusan angin menusuk tak henti-hentinya. Terlihat daun-daun di pohon bergoyang-goyang maupun dibawa angin entah kemana. Burung-burung terbang sangat kencang seperti kilat. Jalanan sepanjang dua kilometer ini sepi tak terelakkan. Aku berlari secepat yang kubisa. Suara petir menggelegar bagaikan bom yang jatuh dari langit membuatku merasa was-was. Apa jadinya jika hujan gelap dan petir berdentum diluar sini, sementara aku berada di saung tepi jalan sendirian saja. Kumohon, ada orang yang lewat memberiku tumpangan.
   Sepuluh menit kuperkirakan petir terus bergemuruh dengan frekuensi berbeda-beda. Seakan langit tak lelah untuk membuat suara yang berdentam keras itu. Hujan belum turun, aku terus berlari, satu kilometer lagi menuju pintu berwarna cokelat rumahku. Tapi hujan mulai turun begitu cepat, sangat besar. Untunglah aku mencapai saung besar di tepi jalan. Aku tak sendiri, ada tiga orang petani dari desaku dan seorang pria berperawakan gagah terlihat dari pakaian juga wajahnya yang bersih. Mungkin pria itu pegawai pemerintah.
   “Baru pulang nak? Dimana sekolahnya?” tanya salah satu dari petani itu.
   “Iya pak, saya sekolah di Sukabaru.” Jawabku, walau mungkin teredam suara hujan yang terdengar semakin kencang. Kami terdiam di saung, tak ada yang bicara lagi, hanya ada gerombolan air yang bertalu-taku bagai musik melodis. Hampir satu jam, pria berperawakan gagah itu menggerutu.
   “Kapan hujan berhenti, sudah telat kalau begini terus,” katanya dengan ekspresi kesal.
   “Jangan menyalahkan hujan, itulah sumber bagi para petani. Tanpa hujan, tak ada kehidupan.” Kata salah seorang petani, pria itu melirik mereka sambil cemberut.
   “Tapi hujan ini malah jadi perusak bagi pekerjaanku. Dasar hujan ini!”
   Pria itu marah pada hujan? Aneh bila kupikir. Bukankah hujan hanya terjadi dalam siklus tahunan dan hanya sering pada waktu tertentu saja. Apa pria itu tak sadar jika hujan yang menyirami tanaman hingga bisa ia makan? Pria itu masih terlihat kesal dengan melontarkan ucapan kecil bernada amarah. Aku melihat tingkah lakunya yang tak biasa, mungkin orang sepertinya banyak di belahan bumi lainnya.
***
   “Bagaimana jika hidupmu bergelimang harta? Apa senang, sedih atau… coba berikan pendapatmu?” tanya Dirna ketika istirahat sekolah esok harinya. Aku berpikir tapi Hendy langsung berbicara.
   “Aku akan bangun rumah yang bagus, kuisi penuh dan beli  mobil mewah.”
   “Memangnya bahagia hanya dengan harta?” tanyaku.
   “Benar sih, tapi…” ujar Hendy
   “Intinya jangan buta oleh emas yang menyilaukan. Ingatlah tuhan dan tataplah masa depan yang indah.” kata Dirna.
   “Memangnya tadi kau tanya begitu untuk apa?” tanya Hendy, meminta penjelasan.
   “Hanya celotehan.” sahut Dirna
   “Oh ya, katamu masa depan yang indah, Kapan itu terjadi? Maksudku ketika kecil kita sering bicara masa depan kita adalah sekolah, sekarang sudah sekolah. Terus apa mereka yang sekarang sukses, yang dulu mengidamkan masa depan yang indah, sekarang mereka berada di masa depan?”
   “Aku tak tahu, tanya pada Einstein jika dia masih hidup,” kata Dirna, kebingungan dan sejenak berpikir lalu memejamkan mata dan membukanya lagi. “ Apa maksudnya, kita akhirnya, penantian panjang ini, kehidupan dan masa depan kita semua sama, semuanya.”
   “Ya.” Ujarku.
   Aku tak yakin Hendy paham perkataan Dirna, tapi aku tahu, bahwa harta hanya seumur jagung. Aku tak harus berpikir seperti mereka yang punya banyak emas dan berlian. Semuanya akan mati sesuai takdir. Semua akan berakhir dan tamat.

Cerpen



Kapan Aku Seperti Mereka?



Bagaimana rasanya jika hidup di lingkungan yang serba berkecukupan bahkan tak tahu lagi mau diapakan harta yang berlebih itu? Temanku misalnya orang kaya raya bernama Denal. Punya rumah mewah besar, mobil lamborghini, kalau mau sesuatu apapun itu tinggal minta. Apapun dikabulkan orang tuanya laksana jin yang mengabulkan semua keinginan. Tapi kulihat Denal hanya menikmatinya, tidak memanfaatkan semua yang tidak dimiliki orang lain. Sekadar bersenang-senang atau apalah yang ia lakukan. Apa jadinya jika semua kemungkinan buruk menimpanya? Entahlah, tapi pasti ia akan menderita.
   Hidupku biasa saja, tidak kaya dan tidak pula miskin. Namun terkadang kami juga kesulitan ekonomi. Bisa dibilang kalau tingkat satu adalah miskin yang tak punya apapun, maka aku tergolong tingkat lima, dan jika sudah tingkat sepuluh adalah golongan menengah. Meskipun begitu aku tetap bahagia walau orang lain sebayaku lebih beruntung. Tersenyum dalam suramnya hidup.
   Seminggu lalu di sekolahku ramai orang tua siswa berdatangan untuk uang satu juta rupiah. Pemberian gratis program pemimpin negeri ini bagi mereka yang beruntung bisa terdaftar sebagai penerima Bantuan Siswa ‘Miskin’. Seakan ingin menunjukkan bahwa mereka benar-benar miskin, hanya demi serat-serat kertas yang diperebutkan. Pertanyaanku sejak itu adalah, apa mereka benar-benar miskin?  Salah satu penerimanya temanku dan aku bertanya soal itu padanya. Hidupnya biasa saja, sama sepertiku, malah ia bisa dikatakan tingkat tujuh karena punya motor dan gawai sementara aku tidak. Dalam hati aku berteriak, tak menerima semua ketidakadilan ini. Ini bukan soal uang, tapi soal bagaimana keadilan ditegakkan. Tak ada yang bisa kulakukan, aku hanya orang kecil yang tak penting.
   “Mau apa?” tanya seorang ibu berkerudung ketika aku masuk ruang Tata Usaha. Ibu itu berwajah penuh bedak, tak natural seakan ingin menunjukan ekonominya bahwa ia punya kosmetik mahal.
   “Bayar untuk prakerin.” kataku pendek.
   “Berapa?” tanyanya lagi.
   “Tiga ratus ribu.” jawabku, menyodorkan sejumlah uang pada ibu itu yang langsung menulis namaku di buku besarnya.
   “Belum yang tiga ratus ribu?” tanya ibu itu, memang untuk bayar prakerin dibutuhkan uang enam ratus ribu rupiah.
   Aku menggeleng. “Belum.”
   “Kenapa? Sudah mepet begini kamu juga baru bayar sekarang. Sebentar lagi libur, mau kapan bayar sisanya?” Ibu itu sedikit menaikkan nada bicaranya dan mata beralis tebal itu menunjukkan wajah judesnya.
   “Nanti bu, belum ada uangnya.” kataku.
   “Cepat bayar ya? Paling lambat dua minggu lagi, secepatnya!” katanya.
   “Insyaallah.” ujarku pelan.
   “Jangan insyaallah, pokoknya harus bayar!” Ibu itu kembali menunjukkan wajah judesnya dan aku tak suka. Ibuku sering bilang bahwa wanita seperti itu hanya egois dan merengek dalam hidup, seringkali bahkan licik.
   “Jika bukan kepada Allah, lalu pada siapa lagi yang menghendaki, sudah ya bu, saya pamit.” Aku melangkah keluar tapi sebelum itu, ibu berkerudung biru tua ini berdiri dan mengucap keras.
   “Hei!” Ibu yang berusia sekitar dua puluh tujuh tahunan itu menghampiriku, wajahnya masih menunjukkan perilaku buruk. “Apa maksudmu bicara begitu?”
   “Maaf, memangnya ada yang salah?” Aku berbalik bertanya, merasa heran. Sebagai siswa, aku tak ingin membuat masalah dengan petugas TU ini.
   “ Ya. Caramu berbicara, aku tak suka itu. Oh sudahlah, aku tahu sifatmu. Orangtuamu pasti sudah memberimu uang yang banyak, hanya saja kau tak jujur. Dasar anak zaman sekarang!”
    Apa? Ini salah, dan seperti wajahnya, ucapan itu sungguh tak sopan dan tak pantas. Aku memang orang biasa, kadang merasa terpinggirkan. Orang lain selalu memamerkan telepon pintar canggih, motor besar, atau barang  bagus lainnya. Untung aku bukan tipe orang yang ingin meminta apapun dan harus dipenuhi. Tidak seperti siswi yang berpenampilan tak sopan yang selalu menganggap dirinya terhormat dan harus dijunjung bagai putri raja. Ibu ini setingkat guru, berkata seperti itu membuatku sedih, padahal itu hasil menjual kambing kecil yang harganya tak seberapa dan mesti dibagi untuk keperluan lainnya.
   “Baiklah itu urusanmu, yang penting aku ingin kau cepat bayar tagihan ini, paham?”
  Aku keluar dan berjalan tergesa-gesa tak ingin mengurusi ucapan ibu itu. Secepatnya kembali menuju kelas bersama teman-teman yang masih istirahat.
   “Kau tadi sudah bayar prakerin?” tanya Dirna temanku.
   “Ya, baru setengahnya.” Jawabku.
   “Kapan terakhirnya ya, aku belum bayar sepeser pun,” teman lain, Hendy menghampiri kami.
   “Katanya dua minggu lagi.” Ujarku.
   “Oh, bagaimana aku membayarnya!” kata Hendy dengan ucapan tak keruan.
   “Sabar Hendy, sabar saja. Aku juga sama sepertimu,” Aku tahu keluarga Hendy tidak mampu lebih tak mampu dariku, bisa dikatakan tingkat empat, dan tak mendapat BSM sama sepertiku. “Kalau saja kau dapat bantuan itu, mungkin semua biaya-biaya bisa lepas dari ingatanmu.”
   “Oh sudahlah, jangan memikirkan uang itu, jangan membicarakannya. Itu takkan mengubah apapun. Lagipula kau benar soal satu hal, aku harus sabar. Terima kasih.” Katanya sambil tersenyum.
   “Dirna, bagaimana rasanya jika seseorang menuduh kita salah padahal kita kebalikan dari itu? Maksudku ini menyakitkan bukan?” aku minta pendapat darinya, tapi Dirna maupun Hendy merasa aneh.
   “Kenapa bicara soal itu, kau lagi galau ya? Mungkin rasanya agak pahit begitu.” Celetuk Dirna, tertawa dan sedikit mengusir masalah ibu itu bersama mereka.
***
   Pulang sekolah seperti biasanya aku jalan kaki. Langit menunjukan tanda yang paling kelam, terasa hembusan angin menusuk tak henti-hentinya. Terlihat daun-daun di pohon bergoyang-goyang maupun dibawa angin entah kemana. Burung-burung terbang sangat kencang seperti kilat. Jalanan sepanjang dua kilometer ini sepi tak terelakkan. Aku berlari secepat yang kubisa. Suara petir menggelegar bagaikan bom yang jatuh dari langit membuatku merasa was-was. Apa jadinya jika hujan gelap dan petir berdentum diluar sini, sementara aku berada di saung tepi jalan sendirian saja. Kumohon, ada orang yang lewat memberiku tumpangan.
   Sepuluh menit kuperkirakan petir terus bergemuruh dengan frekuensi berbeda-beda. Seakan langit tak lelah untuk membuat suara yang berdentam keras itu. Hujan belum turun, aku terus berlari, satu kilometer lagi menuju pintu berwarna cokelat rumahku. Tapi hujan mulai turun begitu cepat, sangat besar. Untunglah aku mencapai saung besar di tepi jalan. Aku tak sendiri, ada tiga orang petani dari desaku dan seorang pria berperawakan gagah terlihat dari pakaian juga wajahnya yang bersih. Mungkin pria itu pegawai pemerintah.
   “Baru pulang nak? Dimana sekolahnya?” tanya salah satu dari petani itu.
   “Iya pak, saya sekolah di Sukabaru.” Jawabku, walau mungkin teredam suara hujan yang terdengar semakin kencang. Kami terdiam di saung, tak ada yang bicara lagi, hanya ada gerombolan air yang bertalu-taku bagai musik melodis. Hampir satu jam, pria berperawakan gagah itu menggerutu.
   “Kapan hujan berhenti, sudah telat kalau begini terus,” katanya dengan ekspresi kesal.
   “Jangan menyalahkan hujan, itulah sumber bagi para petani. Tanpa hujan, tak ada kehidupan.” Kata salah seorang petani, pria itu melirik mereka sambil cemberut.
   “Tapi hujan ini malah jadi perusak bagi pekerjaanku. Dasar hujan ini!”
   Pria itu marah pada hujan? Aneh bila kupikir. Bukankah hujan hanya terjadi dalam siklus tahunan dan hanya sering pada waktu tertentu saja. Apa pria itu tak sadar jika hujan yang menyirami tanaman hingga bisa ia makan? Pria itu masih terlihat kesal dengan melontarkan ucapan kecil bernada amarah. Aku melihat tingkah lakunya yang tak biasa, mungkin orang sepertinya banyak di belahan bumi lainnya.
***
   “Bagaimana jika hidupmu bergelimang harta? Apa senang, sedih atau… coba berikan pendapatmu?” tanya Dirna ketika istirahat sekolah esok harinya. Aku berpikir tapi Hendy langsung berbicara.
   “Aku akan bangun rumah yang bagus, kuisi penuh dan beli  mobil mewah.”
   “Memangnya bahagia hanya dengan harta?” tanyaku.
   “Benar sih, tapi…” ujar Hendy
   “Intinya jangan buta oleh emas yang menyilaukan. Ingatlah tuhan dan tataplah masa depan yang indah.” kata Dirna.
   “Memangnya tadi kau tanya begitu untuk apa?” tanya Hendy, meminta penjelasan.
   “Hanya celotehan.” sahut Dirna
   “Oh ya, katamu masa depan yang indah, Kapan itu terjadi? Maksudku ketika kecil kita sering bicara masa depan kita adalah sekolah, sekarang sudah sekolah. Terus apa mereka yang sekarang sukses, yang dulu mengidamkan masa depan yang indah, sekarang mereka berada di masa depan?”
   “Aku tak tahu, tanya pada Einstein jika dia masih hidup,” kata Dirna, kebingungan dan sejenak berpikir lalu memejamkan mata dan membukanya lagi. “ Apa maksudnya, kita akhirnya, penantian panjang ini, kehidupan dan masa depan kita semua sama, semuanya.”
   “Ya.” Ujarku.
   Aku tak yakin Hendy paham perkataan Dirna, tapi aku tahu, bahwa harta hanya seumur jagung. Aku tak harus berpikir seperti mereka yang punya banyak emas dan berlian. Semuanya akan mati sesuai takdir. Semua akan berakhir dan tamat.