Semilir angin membawa beragam warna yang senantiasa hadir di desa penuh
kerusakan sekalipun. Tak semua yang terbawa adalah debu-debu kapur pabrik
semen, terkadang udara segar yang menyejukkan bersemilir diantara bukit-bukit.
Sore hari merupakan saat dimana angin-angin bebas bertebaran ke desa sekitar,
sampai elang pun terbang memekikkan suara kebesarannya diatas sana. Begitu pun
yang terjadi pada Arda, lelaki berwajah tampan yang tinggal di desa paling
ujung kabupaten. Dimana angin berhembus kencang di batas-batas bukit, suara
burung-burung berkicau, maupun bunyi mesin-mesin yang menggerus alam ini hingga
menjadi rusak. Persis di sore ketika sang surya hampir pudar di kejauhan, Arda
berdiri disisi rumahnya, melihat bukit-bukit yang masih hijau, berdiri kokoh di
antara bukit-bukit penuh debu yang hampir hancur.
Jauh dari hiruk-pikuk jalan raya yang ramai, Desa Cupang merupakan
perpaduan antara keindahan dan kemirisan. Indah dengan kekayaan budaya Situs
Sunan Bonang maupun alam Batu Lawang, Cadas Ngampar dan bukit-bukit nan hijau
menyapa setiap orang. Miris melihat kerusakan di antara bukit-bukit itu,
dikeruk mesin berdenging, kemudian debu yang terhambur jauh membawa pencemaran
yang teruk. Namun Arda ingin agar semua masalah suram di desanya mampu terkikis,
seiring kelulusan didepan mata. Sesungguhnya baru tiga hari yang lalu ia
menghadapi Ujian Nasional, menunggu datangnya amplop putih berisi surat yang akan sampai di rumahnya sebulan
kemudian. Melihat bukit-bukit itu, terbayang surat kelulusan yang akan
menentukan masa depannya kelak. Sebuah misteri didepan adalah harapan indah,
namun kadang cobaan kesedihan menghalangi langkah setiap manusia.
“Kau mau kemana, Arda?” Tanya ibunya ketika ia bersiap-siap, dengan
memakai pakaian rapi dan sepatu yang bersih. Matahari baru saja terbit dan
warna oranye nan memukau menghiasi langit ditimur sana. Hari masih terlalu pagi
untuk bepergian.
“Ya, ke tempat yang mungkin adalah
peruntunganku disana, jika tidak, itu memang bukan jodohku,” jawab Arda sambil
memandang wajah ibunya yang semakin berkerut. “Bapak ada dimana?”
“Dia pergi ke kebun, seperti biasa.” Jawab ibunya pendek.
Sebenarnya bisa dibilang ini merupakan percobaan yang menentukan, karena
pekerjaan harus dimulai semuda mungkin. Sebelum ijazah keluar, tekad Arda ialah
sudah punya pekerjaan. Cuaca bagus di pagi ini membuka peluangnya untuk
bergegas melamar ke sebuah perusahaan penerbitan koran daerah yang sejak dulu
menjadi impiannya. Bahkan pernah sekitar setahun lalu ia mengirim artikel yang
berhasil dimuat di koran itu. Sekarang Arda ingin agar bisa bekerja disana,
dengan pengalaman menulis otodidak secukupnya yang ia punya. Keberanian
merupakan modal utama menghadapi hidup yang berat ini.
“Ingat, jangan terlalu terbebani jika kaubelum berhasil, masih ada
hari-hari esok yang mungkin memiliki banyak peluang untukmu. Yang lebih penting
adalah seberapa besar usaha dan keberanianmu.” Arda menyalami ibunya, kemudian
berjalan keluar rumah menuju kota besar yang megah, jauh dibalik perbukitan.
Untuk kebanyakan temannya sekarang, waktu luang Ujian Nasional dipakai
untuk jalan-jalan sambil menghamburkan uang. Bersenang-senang setelah ketakutan
tentang ujian sirna sudah. Tapi banyak juga yang berpikir kedepan, bagaimana
langkah selanjutnya setelah sekolah usai? Tak ada lagi pekerjaan rumah, tugas,
berkumpul di kantin, bercanda, sekarang hanya menjadi kenangan. Bekerja memang
menjadi tujuan akhir. Menuntut ilmu setelah sekolah–kuliah, memang butuh mental
yang kuat terutama dari segi keuangan. Hari-hari setelah sekolah tidak
dijalankan lagi, tuntutan tak langsung masyarakat sekitar pun akan menghantui
hampir setiap calon pensiunan sekolah. Dan Arda juga merasa dalam hatinya
terhantui, begitu pun yang terjadi saat ini. Kegagalan awal dalam percobaan
mencari peruntungannya di dunia penerbitan koran, hilang seperti kabut. Ia
ditolak secara halus, tidak ada lowongan bulan ini.