Translate

Rabu, 07 Desember 2016

Cerbung




   Semilir angin membawa beragam warna yang senantiasa hadir di desa penuh kerusakan sekalipun. Tak semua yang terbawa adalah debu-debu kapur pabrik semen, terkadang udara segar yang menyejukkan bersemilir diantara bukit-bukit. Sore hari merupakan saat dimana angin-angin bebas bertebaran ke desa sekitar, sampai elang pun terbang memekikkan suara kebesarannya diatas sana. Begitu pun yang terjadi pada Arda, lelaki berwajah tampan yang tinggal di desa paling ujung kabupaten. Dimana angin berhembus kencang di batas-batas bukit, suara burung-burung berkicau, maupun bunyi mesin-mesin yang menggerus alam ini hingga menjadi rusak. Persis di sore ketika sang surya hampir pudar di kejauhan, Arda berdiri disisi rumahnya, melihat bukit-bukit yang masih hijau, berdiri kokoh di antara bukit-bukit penuh debu yang hampir hancur.
   Jauh dari hiruk-pikuk jalan raya yang ramai, Desa Cupang merupakan perpaduan antara keindahan dan kemirisan. Indah dengan kekayaan budaya Situs Sunan Bonang maupun alam Batu Lawang, Cadas Ngampar dan bukit-bukit nan hijau menyapa setiap orang. Miris melihat kerusakan di antara bukit-bukit itu, dikeruk mesin berdenging, kemudian debu yang terhambur jauh membawa pencemaran yang teruk. Namun Arda ingin agar semua masalah suram di desanya mampu terkikis, seiring kelulusan didepan mata. Sesungguhnya baru tiga hari yang lalu ia menghadapi Ujian Nasional, menunggu datangnya amplop putih berisi surat  yang akan sampai di rumahnya sebulan kemudian. Melihat bukit-bukit itu, terbayang surat kelulusan yang akan menentukan masa depannya kelak. Sebuah misteri didepan adalah harapan indah, namun kadang cobaan kesedihan menghalangi langkah setiap manusia.
   “Kau mau kemana, Arda?” Tanya ibunya ketika ia bersiap-siap, dengan memakai pakaian rapi dan sepatu yang bersih. Matahari baru saja terbit dan warna oranye nan memukau menghiasi langit ditimur sana. Hari masih terlalu pagi untuk bepergian.
“Ya, ke tempat yang mungkin adalah peruntunganku disana, jika tidak, itu memang bukan jodohku,” jawab Arda sambil memandang wajah ibunya yang semakin berkerut. “Bapak ada dimana?”
   “Dia pergi ke kebun, seperti biasa.” Jawab ibunya pendek.
   Sebenarnya bisa dibilang ini merupakan percobaan yang menentukan, karena pekerjaan harus dimulai semuda mungkin. Sebelum ijazah keluar, tekad Arda ialah sudah punya pekerjaan. Cuaca bagus di pagi ini membuka peluangnya untuk bergegas melamar ke sebuah perusahaan penerbitan koran daerah yang sejak dulu menjadi impiannya. Bahkan pernah sekitar setahun lalu ia mengirim artikel yang berhasil dimuat di koran itu. Sekarang Arda ingin agar bisa bekerja disana, dengan pengalaman menulis otodidak secukupnya yang ia punya. Keberanian merupakan modal utama menghadapi hidup yang berat ini.
   “Ingat, jangan terlalu terbebani jika kaubelum berhasil, masih ada hari-hari esok yang mungkin memiliki banyak peluang untukmu. Yang lebih penting adalah seberapa besar usaha dan keberanianmu.” Arda menyalami ibunya, kemudian berjalan keluar rumah menuju kota besar yang megah, jauh dibalik perbukitan.
   Untuk kebanyakan temannya sekarang, waktu luang Ujian Nasional dipakai untuk jalan-jalan sambil menghamburkan uang. Bersenang-senang setelah ketakutan tentang ujian sirna sudah. Tapi banyak juga yang berpikir kedepan, bagaimana langkah selanjutnya setelah sekolah usai? Tak ada lagi pekerjaan rumah, tugas, berkumpul di kantin, bercanda, sekarang hanya menjadi kenangan. Bekerja memang menjadi tujuan akhir. Menuntut ilmu setelah sekolah–kuliah, memang butuh mental yang kuat terutama dari segi keuangan. Hari-hari setelah sekolah tidak dijalankan lagi, tuntutan tak langsung masyarakat sekitar pun akan menghantui hampir setiap calon pensiunan sekolah. Dan Arda juga merasa dalam hatinya terhantui, begitu pun yang terjadi saat ini. Kegagalan awal dalam percobaan mencari peruntungannya di dunia penerbitan koran, hilang seperti kabut. Ia ditolak secara halus, tidak ada lowongan bulan ini.