Derikan
Pelik Sang Kromong
Bagaimana rasanya jika
hidup di lingkungan yang serba berkecukupan bahkan tak tahu lagi mau diapakan
harta yang berlebih itu? Temanku misalnya orang kaya raya bernama Denal. Punya
rumah mewah besar, mobil lamborghini, kalau mau sesuatu apapun itu tinggal
minta. Apapun dikabulkan orang tuanya laksana jin yang mengabulkan semua
keinginan. Tapi kulihat Denal hanya menikmatinya, tidak memanfaatkan semua yang
tidak dimiliki orang lain. Sekadar bersenang-senang atau apalah yang ia
lakukan. Apa jadinya jika semua kemungkinan buruk menimpanya? Entahlah, tapi
pasti ia akan menderita.
Hidupku biasa saja, tidak kaya dan tidak
pula miskin. Namun terkadang kami juga kesulitan ekonomi. Bisa dibilang kalau
tingkat satu adalah miskin yang tak punya apapun, maka aku tergolong tingkat
lima, dan jika sudah tingkat sepuluh adalah golongan menengah. Meskipun begitu
aku tetap bahagia walau orang lain sebayaku lebih beruntung. Tersenyum dalam
suramnya hidup.
Seminggu lalu di sekolahku ramai orang tua
siswa berdatangan untuk uang satu juta rupiah. Pemberian gratis program
pemimpin negeri ini bagi mereka yang beruntung bisa terdaftar sebagai penerima
Bantuan Siswa ‘Miskin’. Seakan ingin menunjukkan bahwa mereka benar-benar
miskin, hanya demi serat-serat kertas yang diperebutkan. Pertanyaanku sejak itu
adalah, apa mereka benar-benar miskin?
Salah satu penerimanya temanku dan aku bertanya soal itu padanya.
Hidupnya biasa saja, sama sepertiku, malah ia bisa dikatakan tingkat tujuh
karena punya motor dan gawai sementara aku tidak. Dalam hati aku berteriak, tak
menerima semua ketidakadilan ini. Ini bukan soal uang, tapi soal bagaimana
keadilan ditegakkan. Tak ada yang bisa kulakukan, aku hanya orang kecil yang
tak penting.
“Mau apa?” tanya seorang ibu berkerudung
ketika aku masuk ruang Tata Usaha. Ibu itu berwajah penuh bedak, tak natural
seakan ingin menunjukan ekonominya bahwa ia punya kosmetik mahal.
“Bayar untuk prakerin.” kataku pendek.
“Berapa?” tanyanya lagi.
“Tiga ratus ribu.” jawabku, menyodorkan
sejumlah uang pada ibu itu yang langsung menulis namaku di buku besarnya.
“Belum
yang tiga ratus ribu?” tanya ibu itu, memang untuk bayar prakerin dibutuhkan
uang enam ratus ribu rupiah.
Aku menggeleng. “Belum.”
“Kenapa? Sudah mepet begini kamu juga baru
bayar sekarang. Sebentar lagi libur, mau kapan bayar sisanya?” Ibu itu sedikit
menaikkan nada bicaranya dan mata beralis tebal itu menunjukkan wajah judesnya.
“Nanti bu, belum ada uangnya.” kataku.
“Cepat bayar ya? Paling lambat dua minggu
lagi, secepatnya!” katanya.
“Insyaallah.” ujarku pelan.
“Jangan insyaallah, pokoknya harus bayar!”
Ibu itu kembali menunjukkan wajah judesnya dan aku tak suka. Ibuku sering
bilang bahwa wanita seperti itu hanya egois dan merengek dalam hidup,
seringkali bahkan licik.
“Jika bukan kepada Allah, lalu pada siapa
lagi yang menghendaki, sudah ya bu, saya pamit.” Aku melangkah keluar tapi
sebelum itu, ibu berkerudung biru tua ini berdiri dan mengucap keras.
“Hei!” Ibu yang berusia sekitar dua puluh
tujuh tahunan itu menghampiriku, wajahnya masih menunjukkan perilaku buruk.
“Apa maksudmu bicara begitu?”
“Maaf, memangnya ada yang salah?” Aku
berbalik bertanya, merasa heran. Sebagai siswa, aku tak ingin membuat masalah
dengan petugas TU ini.
“ Ya. Caramu berbicara, aku tak suka itu. Oh
sudahlah, aku tahu sifatmu. Orangtuamu pasti sudah memberimu uang yang banyak,
hanya saja kau tak jujur. Dasar anak zaman sekarang!”
Apa?
Ini salah, dan seperti wajahnya, ucapan itu sungguh tak sopan dan tak pantas.
Aku memang orang biasa, kadang merasa terpinggirkan. Orang lain selalu
memamerkan telepon pintar canggih, motor besar, atau barang bagus lainnya. Untung aku bukan tipe orang
yang ingin meminta apapun dan harus dipenuhi. Tidak seperti siswi yang
berpenampilan tak sopan yang selalu menganggap dirinya terhormat dan harus
dijunjung bagai putri raja. Ibu ini setingkat guru, berkata seperti itu
membuatku sedih, padahal itu hasil menjual kambing kecil yang harganya tak
seberapa dan mesti dibagi untuk keperluan lainnya.
“Baiklah itu urusanmu, yang penting aku
ingin kau cepat bayar tagihan ini, paham?”
Aku keluar dan berjalan tergesa-gesa tak
ingin mengurusi ucapan ibu itu. Secepatnya kembali menuju kelas bersama
teman-teman yang masih istirahat.
“Kau tadi sudah bayar prakerin?” tanya Dirna
temanku.
“Ya, baru setengahnya.” Jawabku.
“Kapan terakhirnya ya, aku belum bayar
sepeser pun,” teman lain, Hendy menghampiri kami.
“Katanya dua minggu lagi.” Ujarku.
“Oh, bagaimana aku membayarnya!” kata Hendy
dengan ucapan tak keruan.
“Sabar Hendy, sabar saja. Aku juga sama
sepertimu,” Aku tahu keluarga Hendy tidak mampu lebih tak mampu dariku, bisa
dikatakan tingkat empat, dan tak mendapat BSM sama sepertiku. “Kalau saja kau dapat
bantuan itu, mungkin semua biaya-biaya bisa lepas dari ingatanmu.”
“Oh sudahlah, jangan memikirkan uang itu,
jangan membicarakannya. Itu takkan mengubah apapun. Lagipula kau benar soal
satu hal, aku harus sabar. Terima kasih.” Katanya sambil tersenyum.
“Dirna, bagaimana rasanya jika seseorang
menuduh kita salah padahal kita kebalikan dari itu? Maksudku ini menyakitkan
bukan?” aku minta pendapat darinya, tapi Dirna maupun Hendy merasa aneh.
“Kenapa bicara soal itu, kau lagi galau ya?
Mungkin rasanya agak pahit begitu.” Celetuk Dirna, tertawa dan sedikit mengusir
masalah ibu itu bersama mereka.
***
Pulang sekolah seperti biasanya aku jalan
kaki. Langit menunjukan tanda yang paling kelam, terasa hembusan angin menusuk
tak henti-hentinya. Terlihat daun-daun di pohon bergoyang-goyang maupun dibawa
angin entah kemana. Burung-burung terbang sangat kencang seperti kilat. Jalanan
sepanjang dua kilometer ini sepi tak terelakkan. Aku berlari secepat yang
kubisa. Suara petir menggelegar bagaikan bom yang jatuh dari langit membuatku
merasa was-was. Apa jadinya jika hujan gelap dan petir berdentum diluar sini,
sementara aku berada di saung tepi jalan sendirian saja. Kumohon, ada orang
yang lewat memberiku tumpangan.
Sepuluh menit kuperkirakan petir terus bergemuruh
dengan frekuensi berbeda-beda. Seakan langit tak lelah untuk membuat suara yang
berdentam keras itu. Hujan belum turun, aku terus berlari, satu kilometer lagi
menuju pintu berwarna cokelat rumahku. Tapi hujan mulai turun begitu cepat,
sangat besar. Untunglah aku mencapai saung besar di tepi jalan. Aku tak
sendiri, ada tiga orang petani dari desaku dan seorang pria berperawakan gagah
terlihat dari pakaian juga wajahnya yang bersih. Mungkin pria itu pegawai
pemerintah.
“Baru pulang nak? Dimana sekolahnya?” tanya
salah satu dari petani itu.
“Iya pak, saya sekolah di Sukabaru.”
Jawabku, walau mungkin teredam suara hujan yang terdengar semakin kencang. Kami
terdiam di saung, tak ada yang bicara lagi, hanya ada gerombolan air yang
bertalu-taku bagai musik melodis. Hampir satu jam, pria berperawakan gagah itu
menggerutu.
“Kapan hujan berhenti, sudah telat kalau
begini terus,” katanya dengan ekspresi kesal.
“Jangan menyalahkan hujan, itulah sumber
bagi para petani. Tanpa hujan, tak ada kehidupan.” Kata salah seorang petani,
pria itu melirik mereka sambil cemberut.
“Tapi hujan ini malah jadi perusak bagi
pekerjaanku. Dasar hujan ini!”
Pria itu marah pada hujan? Aneh bila
kupikir. Bukankah hujan hanya terjadi dalam siklus tahunan dan hanya sering
pada waktu tertentu saja. Apa pria itu tak sadar jika hujan yang menyirami
tanaman hingga bisa ia makan? Pria itu masih terlihat kesal dengan melontarkan
ucapan kecil bernada amarah. Aku melihat tingkah lakunya yang tak biasa,
mungkin orang sepertinya banyak di belahan bumi lainnya.
***
“Bagaimana jika hidupmu bergelimang harta?
Apa senang, sedih atau… coba berikan pendapatmu?” tanya Dirna ketika istirahat sekolah
esok harinya. Aku berpikir tapi Hendy langsung berbicara.
“Aku akan bangun rumah yang bagus, kuisi
penuh dan beli mobil mewah.”
“Memangnya bahagia hanya dengan harta?”
tanyaku.
“Benar sih, tapi…” ujar Hendy
“Intinya jangan buta oleh emas yang
menyilaukan. Ingatlah tuhan dan tataplah masa depan yang indah.” kata Dirna.
“Memangnya tadi kau tanya begitu untuk apa?”
tanya Hendy, meminta penjelasan.
“Hanya celotehan.” sahut Dirna
“Oh ya, katamu masa depan yang indah, Kapan
itu terjadi? Maksudku ketika kecil kita sering bicara masa depan kita adalah
sekolah, sekarang sudah sekolah. Terus apa mereka yang sekarang sukses, yang
dulu mengidamkan masa depan yang indah, sekarang mereka berada di masa depan?”
“Aku tak tahu, tanya pada Einstein jika dia
masih hidup,” kata Dirna, kebingungan dan sejenak berpikir lalu memejamkan mata
dan membukanya lagi. “ Apa maksudnya, kita akhirnya, penantian panjang ini,
kehidupan dan masa depan kita semua sama, semuanya.”
“Ya.” Ujarku.
Aku tak yakin Hendy paham perkataan Dirna,
tapi aku tahu, bahwa harta hanya seumur jagung. Aku tak harus berpikir seperti
mereka yang punya banyak emas dan berlian. Semuanya akan mati sesuai takdir. Semua
akan berakhir dan tamat.